Wahyu memandu ilmu
Wahyu memandu ilmu
Perjalanan Wahyu Memandu Ilmu (WMI) sebagai paradigma keilmuan di UIN
Sunan Gunung Djati Bandung sudah memasuki fase implementasi dan pematangan.
Fase perdebatan terkait apa itu WMI sudah lama dilewati. Sekarang bukan saatnya
lagi diperdebatkan, apalagi diragukan atau bahkan ditolak, tetapi sudah saatnya
sama-sama diimplementasikan.
WMI—sekedar mengingatkan saja—adalah mazhab integrasi keilmuan model UIN
Bandung. Intinya paradigma keilmuan UIN adalah mazhab integrasi antara
Ilmu-Ilmu Dirasah (ilmu-ilmu agama) dengan Ilmu-Ilmu non-Dirasah (ilmu-ilmu
umum). Keduanya bukan saja terintegrasi, tetapi juga terkoneksi dengan baik.
Ada hubungan saling melengkapi.
Bagaimana implementasi WMI dalam kurikulum? Sejumlah fakultas di UIN
Bandung sudah melaporkannya. Semuanya bersepakat tidak menempatkan WMI sebagai
sebuah mata kuliah mandiri, tentu dengan alasan beragama, di antaranya
efisiensi sks. Dan ini diperbolehkan dan diizinkan, sesuai dengan apa yang
telah dijelaskan dalam salah satu buku Trilogi WMI yang telah diterbitkan oleh
Konsorsium Keilmuan UIN Bandung. Buku yang dimaksud adalah Kebijakan dan
Pedoman Penerapan WMI.
Lalu bagaimana fakultas mengimplementasikannya? Insersi. Ya, nilai-nilai
WMI dimasukkan ke dalam kurikulum. Di CPL, CPMK, atau di profil lulusan. Jika
nilai-nilai WMI dengan metode insersi ini dikawal dengan sempurna, baik oleh
dosen sebagai pengampu MK, atau oleh Prodi sebagai pengawas proses
pembelajaran, atau oleh fakultas sebagai penanggung-jawab akademik, maka
nilai-nilai WMI dipastikan akan terimplementasi dengan baik.
Ya. Pokoknya semua civitas UIN SGD Bandung harus punya mindset bahwa
semua ilmu itu terintegrasi. Tidak boleh ada dikotomi. Ini berarti mahasiswa prodi
umum harus memanfaatkan ilmu-ilmu agama untuk mengantarkan pengetahuannya
tentang ilmu-ilmu umum kepada nilai-nilai ketauhidan. Sebaliknya, mahasiswa
prodi agama harus memanfaatkan ilmu-ilmu umum untuk memperkokoh pengetahuannya
tentang ilmu-ilmu agama.
Bagaimana contohnya? Mahasiswa biologi menguasai pengetahuan tentang
biologi bukan semata-mata pengetahuan ansich, tetapi—dengan mempelajari
dasar-dasar ilmu agama—juga mengantarkan kepada kekuasaan Allah (tauhidullah).
Mahasiswa IAT perlu memanfaatkan ilmu-ilmu sosial untuk mendalami kronologi
turunnya ayat. Atau, ilmu Psikologi untuk memahami ayat-ayat tentang tasawuf.
Nah, inilah perlunya ada kolaborasi. Kolaborasi dalam perkuliahan.
Kolaborasi dalam riset. Dan kolaborasi dalam pengabdian kepada masyarakat. Ke
depan, bisa didesain agar tugas-tugas akhir mahasiswa bersifat kolaboratif.
Mahasiswa IAIN melakukan riset bersama dengan mahasiswa Psikologi mengenai
prilaku buruk manusia, contohnya.
Apa yang menjadi ruh MB-KM adalah ruh kolaborasi ini. Jadi, jika
paradigma WMI sudah dijalankan dengan baik, sebenarnya esensi MB-KM sudah
terlaksana. Sebab, salah satu implementasi MB-KM adalah bahwa sesorang
mahasiswa dapat mengambil kuliah di luar prodinya, mata kuliah yang dapat
memperkuat kompetensinya (sikap, pengetahuan, dan keterampilan).
Selain implementasi sebagaimana dijelaskan di atas, pengimplementasian
WMI yang bersifat atribut rasanya penting pula. Ya, bentuknya bermacam-macam.
Memunculkan logo WMI di dokumen-dokumen resmi. Atau, tife arsitektur gedung
yang mencerminkan WMI. Atau, membuat tugu WMI di tempat-tempat strategis.
Bahkan, ini yang saya kira penting, membuat gedung Musium Sains Islami. Gedung
itu akan berisi deskripsi tentang kolaborasi ilmu umum dan ilmu agama yang
melahirkan sejarah Peradaban Islam yang luar biasa besar.
Saya sangat sepakat bahwa ujung dari kearifan orang yang menerapkan WMI
adalah akhlakul karimah. Sebab, sehebat apapun pengetahuan dan penemuan
manusia, ujung-ujungnya adalah kebesaran dan kemahakuasaan Allah. Kebesaran dan
kemahaan Allah ini dengan sendirinya akan memposisikan manusia sebagai makhluk
kerdil dan serba tidak maha. Inilah akhlakul karimah.
Post a Comment for " Wahyu memandu ilmu"